Perkawinan merupakan
Upacara paling sakral dalam perjalanan kehidupan manusia. Dalam prosesi
perkawinan banyak ragam adat dan tradisi, khususnya bagi masyarakat
tradisional di pedesaan. Sebagaimana dianut oleh masyarakat Batuputih.
Sebelum
memasuki fase akad nikah, calon mempelai pria berkewajiban dapat
melakukan ngombi’ nyeor atau mengupas kelapa, yang kemudian dikenal
sebagai Pangantan Ngombi’ Nyeor.
Menurut pengakuan para tokoh di
Batuputih, ngombi’ nyeor atau mengupas buah kelapa ini sangat penting,
karena dari mengupas batok kelapa yang keras, maka sangat diperlukan
ketrampilan dan kehati-hatian, sehingga ketika kelapa telah dikupas,
daging kelapa tidak boleh tergores apalagi terluka.
Hal inilah
yang menjadi simbol, bahwa dalam menempuh biduk rumah tangga tidak
semata-mata sekedar melalui perkawinan, tapi setelah itu akan menghadapi
jalan tandus, terjal dan keras sebagaimana di simbolkan batok kelapa.
Namun ketika hasil kupasan tidak sesuai, maka dalam menjalankan
kehidupan barunya dianggap gagal.
Proses perkawinan dalam
masyarakat tersebut, pada dasarnya sangat sederhana. Seperti proses
perkawinan umumnya yaitu membawah seserahan (ban-ghiban).
Pada
saat prosesi perkawinan keluarga calon pengatin pria tidak langsung
masuk altar akad pernikahan, namun harus diuji dulu kemampuannya,
sejauhmana dia mampu dan dapat mengupas buah kelapa atau ngombi’ nyeor
Konon
kelapa yang dipilih yaitu nyeor ejhu atau kelapa hijau, yaitu buah
kelapa yang kulitnya berwarna hijau, dan punya arti sejuk, sedang daging
kelapa tampak tebal dan empuk. Pilihan kelapa tentu telah
diperhitungkan sebagai simbol kesejukan hati bagi kedua mempelai.
Dengan
disaksikan semua pihak, ditempat yang telah ditentukan tersedialah
tersebut sebuah kelapa yang telah bersih dari serabutnya, yaitu sebutir
buah kelapa yang masih berbatok serta sebuah parang untuk mengupas yang
telah disiapkan untuk calon mempelai pria.
Ujian mengupas kelapa
ini sangat menentukan keberlangsungan atau tidaknya proses pernikahan
nantinya. Apabila sang calon mempelai pria berhasil mengupas tanpa ada
luka atau goresan pada kulit dan daging kelapa, maka pernikahan dapat
dilanjutkan. Dan sebaliknya, apabila ternyata sang calon mempelai pria
gagal, serta terdapat luka pada daging kelapa yang dikupasnya,
dipastikan pernikahan tidak dapat dilanjutkan atau gagal.
Hal
inilah yang kerap menjadi tantangan bagi seorang pria untuk mendapatkan
seorang istri. Namun kegagalan tersebut dapat diulang kembali pada
waktu yang berbeda. Dengan kata lain, proses hajatan perkawinan harus
dibentangkan kembali setelah calon mempelai pria benar-benar mampu dan
sanggup mengupas kelapa dengan benar, yang artinya sang pria harus
benar-benar siap lahir dan batinnya. (lontarmadura/choir)